Penegakan hukum dalam cyberspace membutuhkan sinergi antara masyarakat yang partisipatif dengan aparat penegak hukum yang demokratis, transparan, bertanggung jawab dan berorientasi pada HAM, pada alirannya diharapkan dapat benar-benar mewujudkan masyarakat madani Indonesia yang berkeadilan sosial.
            Harus diakui bahwa Indonesia belum mengadakan langkah-langkah yang cukup signifikan di bidang penegakan hukum (law enforcement) dalam upaya mengantisipasi kejahatan mayantara seperti dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat. Di Inggris dan Jerman membentuk suatu institusi bersama yang ditugaskan untuk dapat menanggulangi masalah Cybercrime Investigation dengan nama National Criminal Intellegence Service (NCIS) yang bermarkas di London. Pada tahun 2001, Inggris meluncurkan suatu proyek yang diberi nama “Trawler Project” bersamaan dibentuknya National Hi-tech Crime Unit yang dilengkapi dengan anggaran khusus untuk cyber cops. Sementara itu, Amerika Serikat membentuk pula Computer Emergency Response Team (CERT) yang bermarkas di Pittsburg pada tahun 1990-an dan Federal Bureau Investigation (FBI) memiliki Computer Crime Squad di dalam menanggulangi kejahatan mayantara. Barda Nawawi Arief menyatakan upaya Peningkatan Efektifitas dan Pembaharuan Orientasi (Reformasi/Rekonstruksi) Penegakan Hukum Pidana Menghadapi Cybercrime perlu kiranya ditempuh beberapa langkah (upaya) antara lain sebagai berikut :
 1. Meningkatkan komitmen strategi/prioritas nasional dalam penanggulangan kejahatan di bidang kesusilaan, yang seyogyanya disejajarkan dengan upaya penanggulangan tindak pidana korupsi, narkoba, terorisme dan sebagainya.
2. Melakukan pembaharuan pemikiran/konstruksi juridis (juridical construction reform), antara lain :
a. rekonstruksi penegakan hukum (pemikiran hukum) dalam konteks kebijakan pembaharuan sistem hukum dan pembangunan nasional;
b. melakukan konstruksi hukum yang konseptual/substansial (substansial legal construction) dalam menghadapi kendala juridis;
c. meningkatkan budaya/orientasi keilmuan (scientific culture/scientific approach) dalam proses pembuatan dan penegakan hukum pidana.
3. Upaya melakukan pembaharuan/rekonstruksi pemikiran yuridis (butir nomor 2 di atas) seyogyanya dilakukan untuk semua bidang penegakan hukum pidana. Namun terutama diperlukan dalam menghadapi masalah cybercrime (CC) karena CC tidak dapat disamakan dengan tindak pidana konvensional, sehingga tidak bisa dihadapi dengan penegakan hukum dan pemikiran/konstruksi hukum yang konvensional.
            Selain ke 3 (tiga) langkah-langkah diatas, sebagai upaya dalam rangka penanggulangan tindak pidana teknologi informasi di massa yang akan datang terdapat beberapa hal yang dilakukan oleh aparat penegak hukum:

a. Mendidik para aparat penegak hukum
            Dalam hal menangani kasus cybercrime diperlukan Spesialisasi terhadap aparat penyidik maupun penuntut umum dapat dipertimbangkan sebagai salah satu cara untuk melaksanakan penegakan hukum terhadap cybercrime. Spesialisasi tersebut dimulai dari adanya pendidikan yang diarahkan untuk menguasai teknis serta dasar-dasar pengetahuan di bidang komputer dan profil hacker.
            Saat ini Indonesia sangat membutuhkan Polisi Cyber, Jaksa Cyber, Hakim Cyber dalam rangka penegakan hukum cybercrime di Indonesia tanpa adanya penegak hukum yang mampu di bidang teknologi informasi, maka akan sulit menjerat penjahat-penjahat cyber oleh karena kejahatan cyber ini locos delicti-nya bisa lintas negara.
            Hal yang lebih penting dalam upaya penegakan hukum adalah adanya sosialisasi berupa penataran, kursus atau pun kejuruan bersama antara aparat penegak hukum dalam rangka persamaan presepsi dalam prosedur pembuktian terhadap kasus tindak pidana teknologi informasi.

b. Membangun fasilitas forensic computing
            Fasilitas forensic computing yang akan didirikan Polri diharapkan akan dapat melayani tiga hal penting, yaitu:
a. evidence collection;
b. forensic analysis;
c. expert witness.
            Peningkatan sarana atau fasilitas dalam penanggulangan tindak pidana teknologi informasi tidak hanya terbatas dengan berusaha semaksimal mungkin untuk meng -up date dan up grade sarana dan prasarana yang sudah dimiliki oleh aparat penegak hukum tetapi juga dengan melengkapi sarana atau fasilitas tersebut sesuai dengan perkembangan teknologi dewasa ini. Oleh karenanya diperlukan tenaga yang terampil serta biaya terutama untuk mendukung kemampuan dan keterampilan aparat penegak hukum di bidang komputer.
            Fasilitas tersebut juga hendaknya tidak hanya melibatkan Polri saja tetapi pihak Pemerintah melalui departemen komunikasi dan informasi membangun fasilitas sendiri yang berfungsi sebagai pusat informasi atau laboratorium sebagai mana layaknya laboratorium forensik sebagai tempat penelitian bagi kepentingan penyidikan dan pengembangan teknologi informasi.

c. Meningkatkan upaya penyidikan
            Karena tindak pidana yang diatur UU ITE adalah tindak pidana khusus, maka diperlukan penyidik yang khusus pula. Pasal 43 UU ITE menyatakan, selain polisi, wewenang penyidikan berada di pundak Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Meski tak terang-terangan menyebut Depkominfo, UU ini menjabarkan bahwa PPNS itu berasal dari lingkungan pemerintah yang bertugas di bidang TI dan Transaksi Elektronik.
            Sebagai sarana untuk menghadapi cyberterorrism aparat penegak hukum hendaknya membentuk satuan tugas bersama seperti yang dilakukan oleh Negara Jepang dengan membentuk Cyber Task Force pada bulan April 2001. Peran dari Cyber Task Force tersebut adalah untuk Mencegah serta merespon keadaan darurat agar kerugian / resiko akibat serangan pada Sistim Informasi terhadap infra struktur kritis seminimal mungkin.
            Pembentukan cyber task force tersebut tidak hanya melibatkan Polri tetapi juga PPNS, Jaksa dan juga hakim yang ruang lingkupnya mulai dari tingkat pusat hingga ke provinsi dan juga kabupaten-kabupaten Upaya kerjasama tidak hanya dilakukan dengan sesama aparat penegak hukum cyber tetapi juga meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan. “Ahli” yang dimaksud di sini tentu saja adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus di bidang TI dan harus bisa dipertanggungjawabkan secara akademis maupun praktis.

d. Kerja sama Internasional
            Melakukan kerjasama dalam melakukan penyidikan kasus kejahatan cyber karena sifatnya yang borderless dan tidak mengenal batas wilayah, sehingga kerjasama dan koordinasi dengan aparat penegak hukum negara lain merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan.
Pengamanan Sistem Informasi akan memudahkan polisi di berbagai belahan dunia melakukan identifikasi dan mendapatkan bantuan dari investigator dari negara lain.
Kerjasama internasional juga meliputi perjanjian kerjasama diantara negara-negara baik dalam hal “mutual assistance”, ekstradisi maupun dalam hal pembantuan dalam upaya menghadirkan korban yang berada diluar teritorial negara. Sebagai upaya lebih efektif dan efesiensi waktu hendaknya dalam upaya pembaharuan hukum pemeriksaan korban dan saksi dalam tindak pidana teknologi informasi dapat dilakukan melalui cara e-mail atau messenger yang ditandatangani dengan tanda tangan digital sebagai sahnya penyidikan, serta pemeriksaan berupa teleconfrence dalam persidangan di pengadilan.