Dalam hukum pidana, ada dua hal penting yang perlu mendapat perhatian, yaitu mengenai hal melakukan perbuatan pidana (actus reus) yang berkaitan dengan subjek atau pelaku perbuatan pidana, dan mengenai kesalahan (mens rea) yang berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban pidana. Berkaitan dalam asas hukum pidana yaitu “Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea”, bahwa “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”, maka pengertian “tindak pidana” itu terpisah dengan yang dimaksud “pertanggungjawaban tindak pidana”.
Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan. Sedangkan sebagai dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuanya itu. Dengan kata lain, hanya dengan hubungan batin inilah maka perbuatan yang dilarang itu dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku.
Batin yang salah (guilty mind,mens rea) ini adalah kesalahan yang merupakan sifat subjektif dari tindak pidana karena berada didalam diri pelaku oleh karena itu kesalahan memiliki dua segi, yaitu segi psikologi dan segi normatif. Segi psikologi kesalahan harus dicari didalam batin pelaku yaitu adanya hubungan batin dengan perbuatan yang dilakukan sehingga ia dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Segi normatif yaitu menurut ukuran yang biasa dipakai masyarakat sebagai ukuran untuk menetapkan ada tidaknya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya.
Berkaitan dengan kesalahan yang bersifat psikologis dan normatif, serta unsur-unsur tindak pidana maka kesalahan memiliki beberap unsur:
a) Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum)
b) Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku (di atas umur dan pelaku dalam keadaan sehat dan normal);
c) Adanya hubungan antara si pelaku dengan perbuatannya baik yang disengaja (dolus) maupun karena kealpaan (culpa);
d) Tidak adanya alasan pelaku yang dapat menghapus kesalahan.
Telah dikemukakan di atas bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana pertamatama harus dipenuhi persyaratan objektif, yaitu perbuatannya harus telah merupakan tindak pidana menurut hukum yang berlaku. Dengan kata lain, untuk adanya pertanggungjawaban pidana pertama-tama harus dipenuhi asas legalitas, yaitu harus ada dasar/sumber hukum (sumber legitimasi) yang jelas, baik dibidang hukum pidana material/substantif maupun hukum pidana formal. Disamping itu harus dipenuhi pula persayaratan subyektif, yaitu adanya sikap batin dalam diri si pelaku/asas culpabilitas. Berkaitan dengan asas culpabilitas tersebut moeljatno berpendapat meskipun melakukan tindak pidana, tidak selalu pembuatnya dapat dipidana (dapat dipertanggungjawabkan). Lebih jauh lagi hal ini lebih ditegaskan oleh Barda Nawawi Arief dan Muladi, yang mengatakan bahwa pada umumnya yang dapat dipertanggungjawabkan adalah si pembuat tapi tidaklah selalu demikian. Hal ini lebih dipertegas lagi oleh Honderic yang mengatakan:” punishment is not always of an offender”. Penyimpangan asas kesalahan tersebut dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana dalam teori hukum pidana dikenal asas-asas pertanggungjawaban pidana, yaitu:270
1. Doktrin pertanggungjawaban pidana langsung (direct Liability Doctrine) atau Teori identifikasi (Identification Theory) dimana mengakui tindakan anggota tertentu dari korporasi, dianggap sebagai tindakan korporasi itu sendiri. Teori ini menyebutkan bahwa tindakan dan kehendak dari direktur juga merupakan tindakan kehendak dari korporasi.
2. Doktrin pertanggungjawaban pidana pengganti (Vicarious Liability).
Doktrin ini merupakan suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain. Pertanggungjawaban demikian misalnya terjadi dalam hal perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain yang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatannya. Dengan demikian dalam pengertian ”vicarious liability” ini, walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti biasa, ia masih dapat dipertanggungjawabkan, bahkan dalam hal tertentu, ia dipertanggungjawabkan sebagai pelaku (pembuat).
Sebagai pertanggungjawaban menurut hukum vicarious liability diartikan sebagai seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain merupakan bentuk pertanggungjawaban sebagai pengecualian dari asas kesalahan. Selanjutnya Peter gillies menulis bahwa,271 ”vicarious liability dalam hukum pidana dapat digambarkan sebagai pengenaan pertanggungjawaban pidana kepada seseorang dalam kapasitas pelaku utama, berdasarkan atas perbuatan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain”.
3. Doktrin Pertanggungjawaban Pidana (PJP) yang ketat menurut Undang-Undang (Strict Liability).
Doktrin strict liability, dimana seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea).
Roeslan saleh menyatakan,272 dalam praktek pertanggungjawaban pidana menjadi lenyap, jika ada salah satu keadaan-keadaan yang memaafkan. Praktek pula melahirkan aneka macam tingkatan keadaan-keadaan mental yang dapat menjadi syarat ditiadakannya pengenaan pidana, sehingga dalam perkembangannya lahir kelompok kejahatan yang untuk pengenaan pidananya cukup dengan strict liability. Strict liability,sering diidentifikasikan dengan tanggung jawab absolute (absolute liability), kendati demikian ada para ahli yang membedakan kedua doktrin tersebut.
Absolute liability273 adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya sehingga walaupun tidak hubungan masih dapat dipertanggungjawabkan sedangkan dalam strict liability untuk dipertanggungjawabkan hubungan tersebut wajib ada.
Bertolak dari pengertian diatas perumusan tindak pidana dalam UU ITE, selalu mencantumkan unsur dengan sengaja dan tanpa hak. Dengan tercantumnya unsur sengaja maka dapat dikatakan bahwa pertanggungjawaban pidana dalam UU ITE menganut prinsip liability based on fault (pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan). Jadi, pada prinsipnya menganut asas kesalahan atau asas culpabilitas. Karena dalam UU ITE semua tindak pidana dalam UU ITE dianggap sebagai kejahatan. Dengan demikian unsur kesalahan (dalam bentuk kesengajaan dan kealpaan) merupakan unsur yang hakiki (liability based on fault);
Asas kesalahan yang diterapkan dalam pertanggungjawaban pidana UU ITE mengindetifikasikan bahwa seolah-olah tidak dimungkinkan adanya pertanggungjawaban mutlak (strict liability). Sedangkan dalam tindak pidana teknologi informasi prinsip ajaran stirct liability dan vicarious liabilty secara teoritis sangat dimungkinkan mengingat tidak mudah membuktikan adanya kesalahan pada delik-delik cybercrime, terutama yang berkaitan terhadap kesalahan pada korporasi/badan hukum.
Pemikiran dalam penerapan asas “strict liability”, dan “vicarious liability” sudah tertulis dalam Konsep KUHP 2004 dalam Buku I yang menegaskan, bahwa “strict liability” dan “vicarious liability” dimungkinkan “untuk tindak pidana tertentu atau dalam hal-hal tertentu.
Sehingga dalam kebijakan pertanggungjawaban pidana dalam penanggulangan tindak pidana teknologi informasi yang akan datang memungkinkan untuk menerapkan “strict liability” dan “vicarious liability”.
Pembuat undang-undang dalam merumuskan delik sering memperhitungkan kenyataan manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang dalam hukum keperdataan maupun di luarnya muncul sebagai satu kesatuan dan karena dari itu diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum/korporasi. Dengan demikian, dalam hukum pidana saat ini subjek hukumnya tidak lagi terbatas pada manusia sebagai pribadi kodrati (natuurlijkepersoonen) tetapi juga mencakup manusia sebagai badan hukum (rechts-persoonen).
Perkembangan hukum pidana di Indonesia ada tiga sistem pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai subjek tindak pidana yakni:
1. Pengurus korporasi yang berbuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab.
2. Korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab.
3. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab.
John C.Coffee,Jr sebagaimana di kutip oleh Barda Nawawi Arief menyebutkan alas an penggunaan hukum pidana terhadap korporasi antara lain:
1. Hukum pidana mampu melaksanakan peranan edukatif dalam mendefenisikan/menetapkan dan memperkuat batas-batas perbutan yang dapat diterima (acceptable conduct);
2. Hukum pidana bergerak dengan langkah lebih cepat daripada perdata. Dengan pidana restitusi, lebih cepat memperoleh kompensasi bagi korban;
3. Peradilan perdata terhalang untuk mengenakan sanksi pidana;
4. Penuntutan bersama (korporasi dan agennya) memerlukan suatu forum pidana apabila ancaman pengurungan digunakan untuk mencegah individu. Dari sudut penegakan hukum, peradilan bersama itu cukup beralasan karena lebih murah dibandingkan dengan penuntutan terpisah, dan karena mereka mengizinkan penuntut umum mengikuti kasus itu dalam cara yang terpadu.
Adanya ketentuan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dalam UU ITE merupakan suatu kemajuan dalam hukum pidana indonesia (KUHP) karena KUHP belum mengatur terhadap pertanggungjawaban korporasi. Korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam cybercrime walaupun tidak diatur secara jelas dan khusus dalam UU ITE, tetapi Penjelasan Pasal 52 ayat (4) memberikan persyaratan terhadap subjek pertanggungjawaban korporasi untuk dikenakan sanksi pidana adalah yang dilakukan oleh korporasi (corporate crime) dan/atau oleh pengurus dan/atau staf korporasi.
Seyogianya adressat UU ITE tidak hanya mengatur terhadap subjek pertanggungjawaban korporasi sebagai korporasi, pengurus dan/atau staf korporasi saja. Perlunya perhatian pertanggungjawaban Internet Service Provider (ISP) sebagai penyedia layanan internet dan Warung Internet (Warnet) yang menyediakan akses internet. Posisi keduanya dalam cybercrime cukup penting sebagai penyedia dan jembatan menuju jaringan informasi global, apalagi Warnet telah ditetapkan sebagai ujung tombak untuk mengurangi kesenjangan digital di Indonesia.
Bentuk pertanggungjawaban pidana apa yang mesti mereka terima jika terbukti terlibat dalam cybercrime. Apakah pertanggungjawabannya dibebankan secara individual atau dianggap sebagai suatu korporasi. Ini akan memiliki konsekuensi tersendiri, oleh karena korporasi mempunyai sifat yang mandiri dalam hal pertanggungjawaban pidana sehingga ia tidak dapat disamakan dengan subjek tindak pidana yang dilakuan oleh orang . Untuk itu penerapan asas-asas pertanggungjawaban korporasi dengan cara pertanggungjawaban pidana langsung (direct Liability Doctrine) atau Teori identifikasi (Identification Theory), pidana pengganti (Vicarious Liability), Pertanggungjawaban Pidana yang ketat (Strict Liability),dan tanggung jawab absolute (absolute liability) perlu dipertimbangkan dalam merumuskan pertanggungjawaban pidana korporasi di masa yang akan datang.
Menurut Section 24 KUHP Australia, dalam delik absolute liability, mistake of fact (error facti) tidak dapat digunakan sebagai alasan pembelaan (alasan penghapus pidana); dan menurut Section 23, dalam delik strict liability, mistake of fact dapat digunakan sebagai alas an pembelaan.
Dengan dijadikannya korporasi sebagai subjek tindak pidana, maka dalam upaya penanggulangan tindak pidana teknologi informasi di masa yang akan datang hendaknya harus ada ketentuan khusus yang mengatur mengenai:
1. Kapan dikatakan korporasi melakukan tindak pidana;
2. Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan;
3. dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan; dan
4. Jenis-jenis sanksi apa yang dapat dijatuhkan untuk korporasi
0 komentar:
Posting Komentar